Pendahuluan

Tanah merupakan lapisan dari bumi yang memiliki sumber daya alam yang penting bagi keberlangsungan hidup umat manusia. Karena, sebagian besar kehidupan manusia bergantung pada tanah yang meliputi tanah sebagai mata pencaharian, kebutuhan untuk tempat tinggal, kebutuhan pangan, serta serentet kebutuhan lainnya yang bersifat ekonomis serta keyakinan dalam hal kepercayaan (religious). Indonesia sendiri memiliki Undang-Undang yang mengatur mengenai Hak Menguasai Negara dalam Hukum Tanah Nasional yang tercantum dalam UU No. 5 Tahun 1960 mengenai Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau dikenal dengan UUPA. Mengacu pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang berbunyi “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” (Muhammad Zaky Adriansa, Nur Adhim, 2020). Frase pada “dikuasai” mengarah pada negara memiliki kekuasaan dalam membuat peraturan yang berkaitan dengan agraria yang tujuannya ialah untuk kepentingan rakyat banyak.

Selain itupun prinsip dari “negara menguasai” dalam pengertian ini ialah hubungan negara dan rakyat dipahami dengan negara menerima kekuasaan dari masyarakat dalam mengatur mengenai penyediaan, pembagunan tanah, dan pembuatan produk hukum yang berkaitan dengan tanah. Maka dengan hal tersebut pemerintah harus dapat mempertanggung jawabkan apa-apa yang dilakukan yang mencakup pengelolaan tanah kepada rakyat. Mengacu pada UUPA Pasal 6 bahwa “semua hak atas tanah memiliki fungsi sosial. Dengan hal tersebut maka pemegang hak tas tanah tidak memiliki kekuasaan mutlak, karena menyesuaikan pada fungsi sosial atas tanah bahwa jika negara menghendaki atas kepentinngan umum, pemegang hak atas tanah kemudian harus melepaskan hak tanahnya kepada negara” (Muhammad Zaky Adriansa, Nur Adhim, 2020). Menaggapi atas pengertian tersebut Pasal 18 UUPA memberikan landasan hukum kepada rakyat mengenai kompensasi karena pengambilan tanah hak baik untuk kepentingan umum yang didalamnya meliputi pada kepentingan bangsa serta negara dan bagi kepentingan seluruh warga negara. Pencabutan hak atas tanah ini dapat diberikan ganti rugi yang layak dan sesuai dengan aturan yang ada dalam Peraturan Perundang-undangan.Yang mana tercantum dalam UU No. 2 Tahun 2012 mengenai Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang menjelaskan “pengadaan tanah merupakan kegiatan dalam menyediakan tanah dengan cara memberi ganti rugi yang layak dan adil pada pihak yang berhak” yaitu meliputi pada pihak yang menguasai tanah ataupun pihak yang memiliki objek pengadaan tanah. Sedangkan ganti rugi ditunjukan pada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah ini.

Mengacu pada penjelasan mengenai peraturan agraria diatas, dapat dipahami bahwa kebijakan yang diambil pemeritah yang bersangkutan dengan agraria (tanah) haruslah mengutamakan kebutuhan dari seluruh warga negara bukan hanya keuntungan bagi segelintir warga negara saja. Ketidak sesuaian praktik agraria ini dapat dilihat dari Proyek Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworjo tepatnya di Desa Wadas yang mana telah ditetapkan sebagai Percepatan Proyek Strategis Nasional melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 56 Tahun 2018. Selain itupun Gubernur Jawa Tengah yaitu Ganjar Pranowo telah mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 590/41/2018 yang merupakan pernyataan resmi bahwa Desa Wadas Kecamatan Bener merupakan lokasi pertambangan material batu andesit yang merupakan salah satu bahan bangunan dari Bendungan Bener. Mengetahun desanya yang asri dan tanah yang ada didalamnya sebagai sumber mata pencaharian akan dirusak dengan pembangunan tambang, pada Selasa 8 Febuari 2022 melalui media sosial viral video yang berisikan konflik antar aparat gabungan TNI dan Polisi dengan warga Desa Wadas yang kontra atas proyek pembangunan Bendungan Bener. Dalam unggahan video yang viral tersebut beberapa warga ditangkap oleh aparat bersenjara lengkap.

Warga yang ditangkap oleh TNI dan Polisi tersebut merupakan warga yang kontra atas negara yang akan mengeksploitasi daerah mereka dengan membangun tambang batu andesit. Karena pembangunan tambang serta bendungan diharuskan membuka lahan sebesar 153,64 hektar yang mana 145 hektar menjadi lahan tambang dan 8,64 hektar menjadi akses lokasi pertambanggan. Pembebasan lahan yang dilakukan ini akan berdampak kepada 1.800 jiwa penduduk Desa Wadas. Warga Wadas pun menolak untuk memberikan lahan mereka untuk dijadikan pertambangan batu andesit karena tanah tersebut merupakan tumpuan hidup bagi 500 jiwa warga Desa Wadas yang merupakan pemilik tanah. Selain itupun warga Desa Wadas sudah memperkirakan bagaimana rusaknya daerah mereka saat pertambangan dibangun di pemukiman warga yang mana akan mengancam Kesehatan serta kualitan hidup mereka.

Pembahasan

Pembangunan Bendungan Bener merupakan salah satu proyek nasional yang mana telah ditetapkan dalam beberapa peraturan seperti Peraturan Presiden No. 56 Tahun 2013 mengenai perubahan atas Peraturan Presiden No. 24 Tahun 2010 mengenai Kedudukan Tugas serta Fungsi Kementrian Negara dan Susunan Organisasi Tugas serta fungsi eselon I dari kementerian Negara, lalu Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 590/41/2018 mengenai izin Penetaran atas izin lokasi Bendungan Bener serta Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 660.1/20 Tahun 2018 mengenai izin lingkungan atas rencana pembangunan Bendungan Bener (Muhammad Zaky Adriansa, Nur Adhim, 2020). Pembangunan Bendungan Bener ini membutuhkan lahan seluas 500 hektar yang setara dengan 4.300 bidang dengan rincian wilayah 3.096 merupakan wilayah Kabupaten Purworejo sekitar 7 desa di Kecamatan Bener akan terdampak pembangunan yaitu Wadas, Bener, Kedung Loteng, Laris, Limbangan, Guntur, Karangsari, dan Desa Kemiri di Kecamatan gebang (Muhammad Zaky Adriansa, Nur Adhim, 2020) dan sisanya masuk pada wilayah Kabupaten Wonosobo.

Bendungan Bener ini akan dimanfaatkan sebagai layanan untuk area irigasi dengan total luas wilayah 15.519 hektar dan juga memberikan suplai air baku yaitu 1.500 liter/detik bagi Kabupaten Purworejo, Kulonprogo, dan Kebumen. Selain untuk suplai air dan irigasi, bendungan ini nantinya akan menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dengan suplai energi listrik 6 MW, menjadi tempat wisata, area perikanan, konservasi DAS Bogowonto bagian hulu (Muhammad Zaky Adriansa, Nur Adhim, 2020), dan suplai air untuk Bandara Yogyakarta Internasional Airport (YIA). Untuk membangun itu semua diperlukan 1.421 bidang tanah yang harus dibebaskan sebagai pengadaan tanah dalam pembangunan Bendungan Bener. Pengadaan tanah yang akan dibebaskan ini sebagai besar merupakan lahan kering, ladang, serta sawah milik petani dan juga terdapat belasan rumah warga, dan area pemakaman. Tentunya dalam hal pengadaan tanah bagi kepentingan umum ini diperlukan kesepakatan antar pihak pemegang hak tanah kepada pihak instansi yang membutuhkan tanah melalui mekanisme konsultasi public (musyawarah). Proses musyawarah dalam pembangunan Bendungan Bener di Desa Wadas ini tidak menemui jalan yang lancar karena, warga Desa Wadas melakukan penolakan atas tanah mereka yang dijadikan objek pengadaan tanah atas proyek pembangunan Bendungan Bener.

Walaupun pembangunan Bendungan Bener memiliki manfaat bagi warga Purworejo dan sekitarnya, masyarakat Desa Wadas tetap menolak untuk dilakukan pembebasan lahan karena mereka menemui kerugian yang harus dihadapi oleh mayarakat Desa Wadas dalam Hidajat, 2021, seperti:
1. Dampak bagi lingkungan hidup atas Pembangunan Bendungan Bener daerah Desa Wadas seperti keberlangsungan pertanian, perkebunan, hutan, dan penambangan terbuka atas batu andesit yang merupakan salah satu material pembangunan Bendungan Bener. Selain itupun pelestarian flora dan fauna yang terancam seperti burung Elang.
2. Dampak penambangan terbuka (quarry) dari batu andesit menurut ahli kontruksi bendungan Universitas Gajah Mada menyatakan bahwa dampak bagi lingkungan hidup atas penambangan terbuka bagi pengadaan material pembangunan Bendungan Bener ialah hancurnya lahan pertanian milik warga, kergaman hayati yang ada hilang, serta 11 desa akan terdampak atas penambangan ini.
3. Kontroversi atas konservasi yang akan dilakukan atas pembangunan bendungan dan pengadaan pertambangan batu andesit yang berdampak pada 11 desa yang ada di wilayah Purworejo.

Dengan kerugian atas kerusakan lingkungan hidup tersebut masyarakat Desa Wadas menolak melakukan pembebasan lahan hal ini yang kemudian memicu kericuhan dengan gabungan TNI, Polri, serta Satpol yang sedang mendampingi petugas BPN dan Dinas Pertanian yang melakukan pengukuran paksa serta perhitungan tanaman tumbuh. Kericuhan yang terjadi pada Selasa, 8 Febuari 2022 yaitu dengan aparat kepolisian yang memasuki desa wadas mengggunakan kendaraan motor, mobil, serta berjalan kaki yang mana mencoba mengepung serta menangkap warga Desa Wadas. Selain itu polisi juga melakukan teror dan kriminalisasi pada warga Desa Wadas dengan menangkap lebih dari 60 orang penduduk desa yang termasuk anak-anak kecil dengan dalih yang tidak jelas. Bahka polisi pun melayangkan tuduhan bahwa warga Desa Wadas yang ditangkap oleh Polisi membawa senjata tajam untuk menghalangi apparat kepolisian. Padahal apparat sendiri yang memasuki Desa Wadas dengan memasuki rumah warga dan merampas alat pertanian milik warga. Tuduhan polisi akan wagra Desa Wadas yang membawa senjata tajam untuk melakukan perlawanan merupakan bentuk ungkapan yang tidak berdasar.

Selain kekerasan yang dilakukan oleh apparat kepada masyarakat Desa Wadas, terdapat indikasi mencurigakan mengenai bagaimana pembangunan Bendungan Bener yang merupakan program yang masuk dalam kategori kepentingan umum yang di satukan dengan kegiatan pertambangan batu andesit yang mana tidak masuk dalam ketegori kepentingan umum. Pakar Hukum Agraria dari Fakultas Hukum UGM mengungkapkan bahwa penyatuan tersebut memang dapat membuat kegiatan dalam pengukuran pengadaan tanah di lokasi tambang menjadi legal namun, hak pakai atas lahan yang dimiliki oleh Kementerian PUPR apakah memberikan wewenang utuk mengambil bebatuan yang ada di tanah tersebut. Dengan hal tersebut Pakar Hukum Agraria dari Fakultas Hukum UGM menyimpulkan bahwa penyatuan proyek pembangunan Bendungan Bener ini didesakkan pada statusnya akan proyek strategis nasional (PSN) karena dikalangan birokrat dan penegak hukum memahami PSN sebagai program yang harus berjalan. Seharusnya Amdal Bendungan Bener dan Pertambangan terbuka batu andesit dipisahkan karena dua hal tersebut merupakan hal yang bereda dan juga izin pembuatan tambang dan pembangunan infrastruktur berbeda.

Jika seperti ini renca pemerintah melakukan pengurangan kemiskinan hanya akan menjadi wacana selamanya, karena negara lebih seperti predator bagi warga negaranya. Dengan fakta yang ada dan merujuk pada pengertian negara menurut Peter Evans yang mengkategorikan Negara kedalam tiga tipe yang didasarkan pada peranan Negara dalam pembangunan ekonomi yaitu: the minimal state, the developmental state, and the predatory state. Sedangkan Denny JA menambahkan lagi satu tipe yaitu the regulatory state (Denny JA, 2006: 1-2). Konsep the minimal state adalah berasal dari Adam Smith, yang menyerahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Peranan pemerintah dalam hal ini dijaga seminimal mungkin. Peranan pemerintah adalah sangat ketat hanya untuk mencegah terjadinya monopoli, menyediakan sarana umum dan melaksanakan hukum, bantuan pemerintah dilakukan secara tidak langsung dan tidak selektif. The regulatory state adalah lebih maju dari pada minimal state. Pendukung dari konsep tersebut menyatakan bahwa pemerintah juga dapat bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Pemerintah dalam memberikan bantuan secara langsung dan bersifat aktif serta sewaktu-waktu menjadi selektif. The developmental state lebih maju dari pada the regulatory state.

Pada konsep ini pemerintah secara langsung mengikuti industri nasional, bahkan menjadi pemimpin dalam industri (menjadi lokomotif bisnis). Pemerintah mempunyai peranan penuh serta melakukan manipulasi kebijakan industri (memberikan perlindungan, subsidi, pajak yang ringan), pinjaman yang murah serta dapat memilih masyarakat bisnis secara langsung sesuai dengan bisnis yang bersifat strategis. Pandangan dari pendekatan ini adalah terbalik dengan the minimal state. Pemerintah mengetahui lebih banyak perkembangan pasar dan bagaimana menumbuhkan ekonomi nasional pada tingkat tinggi. The predatory state, dikatakan “the predatory state is the developmental state without bureaucratic competence”. Pada konsep ini pemerintah melakukan intervensi kepada pelaku usaha. Intervensinya tidak didasarkan pada kemampuan teknis pelaku usaha atau keahliannya, tetapi didasarkan pada nepotisme dan korupsi. Dengan pengertian tersebut dapat dipahami bahwa Indonesia merupakan The predatory state dengan nepotisme dan korupsi yang selalu melingkupinya.

Merampas dan menjarah kekayaan alam yang dimiliki negara dan membagikannya pada kelompoknya dan orang-orang yang berkepentingan didalamnya saja. Melupakan rakyat kecil dan petani akan hak mereka akan tanah yang dimiliki oleh negara. Dilihat dari sudut pandang manapun, pembebasan lahan di Desa Wadas dengan melakukan Pembangunan Bendungan dan pengadaan tambang terbuka batu andesit hanya akan merugikan rakyat kecil saja. Karena dari riset yang ada pun mengenai bendungan sudah mulai dipertanyakan keuntungan dan kerugiannya. Seperti artikel dengan judul “The Hidden Costs of Hydro: We Need to Reconsider World’s Dam Plans” yang di publikasikan melalui situs Mogabay.com pada 5 Maret 2019 mengutip penelitian yang dilakukan oleh Michigan State University yang kemudian di publikasikan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences of the United State of America (PNAS) mengungkapkan bahwa ongkos yang dikeluarkan serta dampak dari bendungan sering diremehkan. Di Eropa dan Amerika Serikat pun melakukan penghancuran atas bendungan diripada membangunnya dengan rata-rata 60 penghancuran bendungan. Lalu laporan yang diunggah oleh Paul Brown dalam “The Unacceptable Cost of Big Dams” mengungkapkan dampak negatif dibangunnya bendungan yang merugikan kelompok miskin serta indikasi gagalnya pasokan listrik dan irigasi yang dicanangkan atas pembangunan bendungan.

Program Strategis Nasional (PSN) pembangunan Bendungan Wadas ditunjukan untuk menunjang aktivitas bidang pariwisata dan Perekonomian Yogyakarta yang mana hanya menguntungkan beberapa pihak saja dan tidak menguntungkan bagi lapisan masyarakat menengah kebawah seperti petani. Program Strategis Nasional ini merencanakan agar memindahkan petani ke lahan lain dengan memberikan dana kompensasi, namun hal tersebut lebih terlebihat sebagai bentuk perampasan tanah/penggusuran paksa. Pemerintah merencanakan banyak hal untuk membuat YAI sebagai Kawasan “aeropolis” dan menjadikannya kota masa depan pesisir Selatan Jawa dengan merampas hak petani. Investor merupakan hal yang dibutuhkan oleh pemerintah seperti yang sudah-sudah, di era Orde Baru pun perampasan hak petani dengan dalih investasi yang akan menaikan perekonomian negara. Namun nyatanya rakyat kecil dan petani tetap terbelenggu dalam kemiskinan dan kehilangan lahan pertanian yang merupakan penopang hidup mereka.

Desa Wadas sendiri dijuluki tanah surga oleh masyarakat yang ada disana, karena tanah wadas memberikan mereka kehidupan dengan suburnya tanah yang ada sehingga hampir 99% masyarakat di sana berprofesi sebagai petani. Tanaman yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi hidup di tanah Wadas seperti pohon durian, mahoni, kopi, aren, serta kelapa memberikan kehidupan yang sangat layak bagi masyarkat wadas. Jika musim panen tiba dan hasil panen bagus satu pohon duruan akan menghasilkan Rp 10 juta, pohon karet yang ada dapat diambil getahnya dengan nilai Rp 7.000 perkilo, kemukus yang ada pun memiliki nilai ekonomis dengan harga satu kilo kemukus basah senilai Rp 50.000 dan kemukus kering seharga Rp 250.000 jika musim panen tiba setidaknya Rp 2,5 juta didapatkan dari tanaman kemukus. Mereka secara turun-temurun hidup atas hasil bumi yang dihasilkan oleh tanah Wadas, jika pemerintah tetap melakukan perampasan lahan kepada para petani ini tingkat kemiskinan akan semakin tinggi dan ketimpangan sosial bukan hal yang sulit ditemui di Indonesia.

Kesimpulan

Pengadaan tanah atas Proyek Strategis Nasional (PSN) dalam pengadaan tanah bagi pembangunan Bendungan Bener di Desa Wadas Kabupaten Purworejo merupakan bentu kamuflase pemerintah yang mengatas namakan pembangunan untuk kepentingan umum yaitu dengan mengatakan bendungan akan sangat bermanfaat bagi irigasi areal pesawahan milik warga dan suplai air bersih padahal, program utama dibentuknya bendungan ini ialah menjadikan Yogyakarta Internasional Airport (YAI) sebagai kawasan “aeropolis” dan menjadikannya kota masa depan pesisir Selatan Jawa. Karena nyatanya pembangunan dalam gabungan Proyek Strategis Nasional ini menyisakan sejumlah kerugian bagi masyarakat tani yang ada di Desa Wadas karena pemerintah melakukan perampasan tanah dan membangun pertambangan terbuka batu andesit yang hanya akan mematikan kesuburan tanah dan merusak mata air yang ada di Desa Wadas.
Proyek Strategis Nasional ini tidak sesuai dengan pedoman agraria di Indonesia yaitu UUPA No. 5 Tahun Tahun 1960 yang menjadi rujukan akan pelaksanaan kebijakan agrarian yang dibuat oleh pemerintah yang berlandaskan pada keadilan sosial ekonomi yang mengacu pada rakyat tani. Selain itupun UUD 1945 Pasal 33 menjelaskan bahwa pemanfaatan atas bumi, air, dan ruang angkasa dilakukan untuk mencapai cita-cita bangsa Indonesia yaitu menjamin akan kesejahteraan dan kemakmuran dari seluruh rakyat Indonesia. Dengan Undang-undang pedoman Agraria dan pemanfaatan SDA yang ada sendiri, program pembuatan Bendungan Bener ini sudah keluar dari jalurnya. Karena didapati kekerasan dan unsur pemaksanaan yang tidak memikirkan kesejahteraan dan kemakmuran dari rakyat kecil terutama petani. Program ini hanya memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat Indonesia dari lapisan kelas ekonomi atas/kaum pemilik modal.
Maka atas hal-hal tersebut Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Universitas Nasional mengecam Tindakan kekerasan dan pelanggaran atas HAM yang dilakukan oleh negara terhadap masyarakat tani Desa Wadas yang dilakukan oleh negara dalam Proyek Strategis Nasional pengadaan tanah bagi pembangunan Bendungan Bener di Desa Wadas Kabupaten Purworejo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *